EQUALRIGHTS LAKI-LAKI
DAN PEREMPUAN DALAM PENDIDIKAN PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Oleh:
As’aril Muhajir
Mengenai tauhid. Konsep ketauhidan dalam Islam dengan jelas menolak patriarkhisme
(sistim kemasyaraklatan yang menentukan ayah sebagai kepala keluarga) karena
tidak mengakui supremasi laki-laki dalam diri Tuhan. Meskipun Tuhan diwakilkan
dengan kata “he” (dia laki-laki dalam bahasa Inggris”, atau “hû” (dia laki-laki
dalam bahasa arab), namun perwakilan tersebut menurut tidak serta merta
mengasumsikan bahwa laki-laki memiliki kekuasaan layaknya Tuhan yang berkuasa.
Hal tersebut erat kaitannya dengan penggunaan bahasa. Bagi Asma, meskipun di
dalam al-Qur’an ada semacam pengakuan bahwa di dalam sistem masyarakat,
laki-laki menjadi pusat kekuasaaan, seperti disebutkan pada beberapa ayat,
tetapi hal tersebut tidak bisa dijadikan sebagai indikasi bahwa al-Qur’an
mendukung patriarkhi.
al-Qur’an mengakui perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, namun
perbedaan jasad tersebut tidak menyebabkan mereka berbeda secara etika dan
moral. Dalam hal ini, Asma mengajukan konsep nafs yang tercantum dalam
al-Qur’an.
Sedangkan ketika Asma menyorot masalah keluarga dan perkawinan,
dikatakannya bahwa keluarga dan perkawinan dalam Islam sesungguhnya lebih
banyak mengarah kepada kerjasama dan saling mengisi diantara suami dan istri.
Pandangan ini sebenarnya counter terhadap anggapan yang menyatakan bahwa
perempuan adalah pihak yang selalu dirugikan dalam lembaga perkawinan dan
keluarga Islam. Menurut Asma, anggapan tersebut muncul karena kesalahan dalam
menafsirkan teks al-Qur’an. Karenanya, Asma menekankan perlunya pemahaman tidak
hanya terhadap teks, tetapi tak kalah pentingnya juga terhadap konteks ketika
ayat-ayat al-Qur’an diturunkan.
Sedangkan ketika Asma menyorot masalah keluarga dan perkawinan,
dikatakannya bahwa keluarga dan perkawinan dalam Islam sesungguhnya lebih
banyak mengarah kepada kerjasama dan saling mengisi diantara suami dan istri.
Pandangan ini sebenarnya counter terhadap anggapan yang menyatakan bahwa
perempuan adalah pihak yang selalu dirugikan dalam lembaga perkawinan dan
keluarga Islam. Menurut Asma, anggapan tersebut muncul karena kesalahan dalam
menafsirkan teks al-Qur’an. Karenanya, Asma menekankan perlunya pemahaman tidak
hanya terhadap teks, tetapi tak kalah pentingnya juga terhadap konteks ketika
ayat-ayat al-Qur’an diturunkan.
Perempuan dalam pandangan
al-Qur’an
Wanita adalah ibu umat manusia, juga ibu umat manusia pilihan Tuhan. Itulah
sebabnya, secara mendasar dan dari akarnya, Islam menolak pandangan negatif
tentang wanita. Pandangan tersebut misalnya terjadi pada zaman Arab pra Islam.
Sebagaimana dicatat dalam al-Qur’an bahwa wanita bukan saja dihinakan tapi juga
disingkirkan. Rasulullah betul-betul menghargai posisis wanita, dengan
sabdanya:
االجنة تحت أقدام المهات
“Surga berada di bawah telapak
kaki ibu”
Hadits tersebut menggambarkan betapa wanita itu mulia menurut Rasulullah.
Sehingga kalau seseorang ingin mendapat kebahagiaan (masuk surga) maka ia harus
menghormati ibunya, dimana ibunya adalah seorang wanita.[1]
Dalam ensiklopedi hukum
Islam, Wanita adalah salah satu jenis kelamin manusia yang mempunyai sifat dan
atau karakter tertentu; lawan jenis laki-laki.[2] Di
sisi lain, Pria dan wanita adalah setara kedudukannya dalam pandangan Islam.
Hal ini didasarkan pada firman Allah swt:
إنا خلقناكم من ذكر وأنثى
وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم (الحجرات : 13)
“Sesungguhnya kami telah ciptakan kalian laki-laki dan perempuan
dan juga kami jadikan kalian berbangsa dan bersuku-suku agar kalian bisa lebih
saling mengenal, sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian adalah yang
paling bertaqwa”[3]
Adapun Hadits Nabi yang berbicara tentang kesetaraan wanita
dan pria adalah:
طلب العلم فريضة على كل
مسلم ومسلمة
“Menuntut
ilmu itu wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan”
Dalam hal menuntut ilmu Rasulullah membuka ruang publik (publik sphere),
begitu juga dengan pengamalan ilmu yang dimiliki mereka berdua.
Agama Islam datang membawa
pembaharuan bagi kedudukan kaum wanita. Para
wanita pada masa sebelum Islam mendapat kedudukan yang rendah, hina dan
memalukan, oleh agama islam diangkat ke posisi yang baik, terhormat, dan
dihargai.Islam melarang penganutnya mewarisi wanita secara paksa, sebagaimana
yang sering terjadi pada masa jahiliyah. Allah swt berfirman:
يآيها الذين
آمنوا لا يحل لكم أن ترثوا النسآء كرها [4]
“Wahai orang-orang yang beriman
tidak diperbolehkan bagi kamu untuk mewarisi wanita secara paksa”
Ayat ini turun karena tradisi jahiliyah adalah mewarisi para wanita yang
ditinggal mati oleh para suaminya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw:
روى البخاري وأبو داود
والنساء عن عباس قال : كانوا إذا مات الرجل كان أولياءه أحق بامرأته إن شآء بعضهم
تزوجها , وإن شآؤوا زوجوهافهم احق بها من اهلها. [5]
“Imam Bukhari, Abu dawud, dan
Nasa’i meriwayatkan hadits, bahwa (orang jahiliyah) apabila seseorang meninggal
dunia maka para keluarganya (walinya) berhak atas istri yang ditinggalkan
seseorang tersebut, apabila mereka ingin mengawininya maka dikawinlah wanita
tersebut, dan apabila mereka ingin mengawinkan dengan orang lain maka
dilakukanlah hal tersebut”.
Islam sangat memuliakan
wanita. Al-Qur’an dan al-Hadits memberikan perhatian yang sangat besar serta
kedudukan yang teerhormat kepada wanita, baik dia sebagai anak, istri, ibu,
saudara maupun peran lainnya. Begitu pentingnya hal ini, Allah swt mewahyukan
sebuah surat
dalam al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw yang diberi nama surah al-Nisa’.
Sebagian besar ayat dalam surah ini membicarakan persoalan yang berhubungan
dengan wanita, utamanya yang berkaitan dengan kedudukan, peranan, dan
perlindungan hukum terhadap hak-hak wanita.[6]
Bagi Islam, wanita yang baik adalah yang menjalankan kehidupannya
seoptimal mungkin berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Menjalankan fungsi, hak
dan kewajibannya baik sebagai hamba Allah, sebagai seorang istri, sebagai ibu
dan sebagai juru dakwah.[7]
Mahmud Syaltut, sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Aziz dahlan
menyatakan bahwa wanita dan pria mempunyai tabiat kemanusiaan yang sama. Mereka
dianugerahi potensi kemanusiaan yang sama oleh Allah swt, sehingga dapat
melakukan kegiatan masing-masing dan memikul tanggung jawab.[8]
Dalam hukum Islam, wanita diletakkan pada kerangka yang sama dengan pria.
Apabila pria dapat melakukan muamalah seperti jual beli, memberikan kesaksian,
dan menuntut di pengadilan, demikian pula wanita. Namun bukan berarti bahwa
Islam memberikan kepada kaum wanita kedudukan yang sama persis dengan kedudukan
kaum pria, Islam secara jujur dan bertanggung jawab tetap meletakkan dan
mengakui adanya perbedaan-perbedaan yang bijaksana antara kaum pria dan kaum
wanita. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain dalam hak talak, warisan dan
kesaksian di pengadilan.
Dalam pandangan agama Islam,
laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama. Keduanya mendapat pahala
yang sama di sisi Alllah sesuai dengan tingkatan iman dan amal yang mereka
lakukan. Hal ini difirmankan Allah dalam surat
al-Mukmin ayat 40:
من عمل صالحا من ذكر أو أنثى
وهو مؤمن فأولئك يدخلون الجنة يرزقون فيها بغير حساب (المؤمن: 40)
“Barang siapa yang beramal shaleh, baik laki-laki maupun
perempuan, sedangkan mereka beriman, maka mereka akan masuk surga dengan tiada
terhingga."
Islam menjunjung tinggi derajat
wanita, ia ditempatkan pada posisi yang sangat terhormat di dunia ini, tidak
ada yang boleh menghinakannya karena Nabi bersabda dalam sebuah hadits:
االجنة تحت أقدام الأمهات
“Surga itu di bawah telapak kaki ibu”
Bahkan Rasul mengatakan wanitu itu
lebih berharga dari keindahan seluruh isi alam ini. Dalam sabda Nabi yang
artinya:
االدنيا متاع وخير متاعه
المرأة الصالحة (رواه مسلم)
“Dunia itu perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita
shalihah”
Untuk menjaga kesucian serta
ketinggian derajat dan martabat kaum wanita, maka dalam kehidupan sehari-hari
Islam memberikan tuntunan dengan ketentuan hukum syariat yang akan memberikan
batasan dan perlindungan bagi kehidupan wanita, semuanya itu untuk kebaikan
wanita, agar tidak menyimpang dari apa yang telah digariskan Allah terhadap
dirinya, semuanya merupakan bukti bahwa Allah itu Ar-Rahim terhadap seluruh
hamba-hamba-Nya.
[1] Masdar
F. Mas’udi, Islam dan hak-hak Reproduksi Perempuan, h.44
[2] Abdul
Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, J. 2, h. 1920
[3] Masih
banyak lagi ayat al-Qur’an yang menyebutkan kesataraan antara laki-laki
dan perempuan, di antaranya adalah:
al-Baqarah, 187, al-Tawbah, 71, al-Nisa’, 124, dan sebagainya.
[4]
Al-Qur’an Surat al-Nisa’ ayat 19
[5] Abd
al-Rahman al-‘Ak, Safwah al-Bayan Lima’ani al-Quran, h. 79
[6] Abdul
Aziz dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, J. 2, h. 1923
[7] Ibid.,
J. 6, h. 192
[8] Ibid.,
J. 2, h. 1920